Problematika pencegahan perkawinan presektif UU no. 1
tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam ( KHI)
Oelh: Syifaur Rohman
Program Pasca Sarjana Hukum keluarga Islam Universitas
Sunan Giri
( UNSURI)
Pernikahan
adalah ikatan yang mempersatukan dua insan dalam ikatan suci yang diberkati
oleh Dzat yang maha Suci. Pernikahan juga sering dinyatakan sebagai suatu hal
yang sakral karena tujuan pernikahan adalah membentuk keluarga yang sakinah,
mawaddah wa rahmah. Namun saat ini sering kita jumpai kasus perceraian. Dalam
hal ini, pernikahan seolah-olah menjadi alat atau wadah untuk sekedar
bersenang-senang atau bermain. Sebagai contoh konkrit yang sering kita jumpai,
dan hal ini bukanlah sesuatu yang aneh, yakni pada kasus para selebritis.
Menikah, kemudian bercerai dan dengan mudah menikah lagi dengan pria lain dalam
waktusingkat. Jadi pernikahan pertama sepertinya tidak berhasil. Hubungan cinta
antara seorang pria dan seorang wanita hanya akan hilang jika tidak ada anak
yang mempertemukan keduanya. Namun, masalah kesehatan mental anak terkadang
tidak diperhatikan lagi.
Untuk
menghindari kejadian seperti itu, pemerintah merancang undang-undang yang
mengatur masalah perceraian. Oleh karena itu, dalam perkara perceraian tetap
ada mediasi agar perceraian tersebut dapat dibatalkan. Dalam UU Perkawinan no.
1/1974 tidak hanya mengatur persoalan perceraian yang masih bisa dibatalkan,
namun juga persoalan perceraian yang harus diselesaikan. Jadi undang-undang ini
juga mengatur tentang pengajuan permohonan pembatalan perkawinan. Selain itu,
undang-undang no. 1/1974 juga membahas tentang pencegahan perkawinan.
Pencegahan perkawinan adalah usaha
untuk membatalkan perkawinan sebelum perkawinan itu berlangsung. Pencegahan
perkawinan itu dapat dilakukan apabila calon suami atau calon istri yang akan
melangsungkan pernikahan berdasarkan hukum islam yang termuat dalam pasal 13
Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, yaitu perkawinan dapat dicegah apabila ada
pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat melangsungkan perkawinan.[1]
pencegahan perkawianan dibagi dalam dua segi, yaitu[2]
1. Syarat Materiil:
berkaitan dengan pencatatan perkawinan, akta nikah, dan larangan perkawinan.
Diantaranya yaitu tentang larangan adanya atau dilakukannya suatu perkawinan.
2.Syarat administratif:
syarat perkawinan yang melekat pada setiap rukun perkawinan (calon mempelai
laki-laki dan wanita, saksi dan wali) dan pelaksanaan akad nikahnya.
Dalam pandangan fiqh, pernikahan itu
adalah urusan pribadi sehingga orang lain tidak berhak ikut campur. Begitu juga
dalm urusan pencegahan perkawinan. Namun dalam hal perkawinan, pihak luar
keluarga bisa terlibat hanya untuk memberikan nasehat atau
pandangan dalam rangka amar ma’ruf dan nahi munkar. Misalnya memberi gambaran
tentang laki-laki yang akan dinikahinya atau menyalahkan jika dalam akad nikah
terjadi kesalahan atau kurangnya syarat sehingga dapat menyebabkan tidak sahnya
pernikahan tersebut. Akan tetapi hal tersebut hanya sebagai nasehat saja dan
tidak bersifat mutlak bisa menjadi pencegah terjadinya pernikahan. Perkawinan dapat
dilangsungkan jika syarat dan rukunnya sudah terpenuhi serta sudah tidak ada
lagi penghalang yang menghalangi terjadinya perkawinan.
Perubahan Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 menjadi Undang-Undang
No.16 Tahun 2019 perbedaan yang bertitik pada batasan minimal usia nikah. Pada
Undang-undang terbaru usia minimal untuk melangsungkan perkawinan disamaratakan
antara laki-laki dan perempuan menjadi 19 tahun. Dilakukannya perubahan dengan
tujuan dapat mengurangi jumlah dari perkawinan pada usia anak. dan diskriminasi pada perempuan Namun
pada prakteknya setelah perubahan tersebut membuat permohonan dispensasi nikah
meningkat.. di Pengadilan Agama
Malang, pengajuan dispensasi kawin pada Tahun 2022 sejumlah 1434
perkara, jumlah tersebut mengalami penurunan yang signifikan melihat jumlah
perkara Dispensasi Kawin pada tahun 2021 sejumlah 1762 perkara.. Hal ini menjadi masalah ketika semua
permohonan dispensasi nikah yang masuk di Pengadilan Agama Malang diterima dan
dikabulkan oleh hakim, karena hal tersebut bersebrangan dengan tujuan
dinaikkannya batas usia nikah yakni menekan pernikahan dini.
Dari Laporan Tahun Pengadilan Agama
Banyuwangi, pada 2016 hingga 2018, jumlah perkara dispensasi kawin yang diputus
oleh Pengadilan Agama Banyuwangi berkisar 200 kasus hingga 290 kasus per
tahunnya. Namun, di tahun 2020, jumlah perkara dispensasi kawin yang diputus
oleh Pengadilan Agama Banyuwangi meningkat drastis hingga mencapai 980 kasus.
Hal serupa terjadi di Pengadilan Agama Jember.
Perkara dispensasi kawin yang diputus oleh Pengadilan Agama Jember pada 2017
hingga 2019 berkisar 100 perkara hingga 330 perkara per tahunnya. Namun, pada
2020 jumlahnya meningkat drastis menjadi 1.442 perkara. Begitu juga di
kabupaten Gresik sepanjang tahun 2022, total ada 229 permohonan dispensasi
nikah dini. Sehingga setidaknya ada 19 kasus permohonan dalam setiap bulannya.
Sedangkan angka perceraian mencapai 3.147 perkara. Dengan perincian, 2.560
perkara cerai diajukan oleh pihak istri atau cerai guat dan 587 diajukan oleh
suami atau cerai talak. dari meningkatnya kasus tersebut berarti perubahan Undang No.16 Tahun 2019 tersebut belom efektif dalam mencegah nikah
dibawah umur, perlu kesadaran yang tinggi dan keja sama yang kuat semua elemen masyarakat untuk melaksanakan
undang undang tersebut.
Indonesia
termasuk dalam 10 negara dengan angka absolut pernikahan anak tertinggi di
dunia, berdasarkan laporan Pencegahan Pernikahan Anak: Percepatan yang Tidak
Bisa Ditunda (2020). Tercatat setiap 9 anak di Indonesia menikah. Menurut BPS
Bappenas, sebanyak 47,90 persen perempuan usia 20 hingga 24 tahun putus sekolah
karena menikah sebelum usia 18 tahun. Diperkirakan terdapat 1.220.900 perempuan
di Indonesia yang menikah sebelum usia 18 tahun. Dan hal ini menjadikan
Indonesia masuk dalam daftar 10 negara dengan jumlah pernikahan anak tertinggi
di dunia.
[1] Prof. Dr. Zainuddin Ali, M.A., Hukum
Perdata Islam di Indonesia, cetakan kedua, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007),
hal. 33
[2] Prof. Dr. Ahmad Rofiq, M.A., Hukum Islam Indonesia, cetakan ketiga,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 139
Comments
Post a Comment