Skip to main content

Teori Hukum Adat ( العرف) dan Pembagianya


1.        Pengertian adat Istiadat (‘Urf)
Secara umum ( orang- orang awam) istilah hukum adat jarang digunakan yang paling banyak digunakan dalam pembicaraan adalah adat  saja. Dengan menyebut kata “adat” maka yang dimaksud adalah “ kebiasaan” yang pada umumnya harus berlaku pada masyarakat yang bersangkutan.[1] Adat dapat dipahami sebagai tradisi local ( local Custom)  yang mengatur interaksi masyarakat. Dalam ensiklopedi Islam disebutkan bahwa adat adalah mempunyai arti “kebiasaan” dimasyarakat yang telah dilakukan berulang kali secara turun menurun. Kata “adat” disini lazimnya dipakai dengan tanpa membedakan mana yang mempunyai sanksi, seperti “ hukum adat” dan mana yang tidak mempunyai sanksi, seperti disebut adat saja[2].  Bila diperhatikan kedua kata itu dari segi asal penggunan dan akar katanya , terlihat ada perbedaan. Kata ‘ Adat  dari bahasa arab عادة akar katanya adala عاد- يعود yang mengandung arti تكرار ( Pengulangan)[3] Adapun yang dikehendaki dengan kata adat atau tradisi dalam karya ilmiyah ini adalah adat yang tidak mempunyai sanksi, yaitu yang disebut adat saja. Sedangkan Abu Hilal Al As- Kari  menjelaskan perbedaan antara adat dan ‘Urf. kalau Urf hanya dipakai untuk lafadz sedangkan adat dipakai untuk pekerjaan.[4]
            Dalam litelatur Islam, dapat disebut  العا دة atau العرف  yang mempunyai arti adat atau kebiasaan. Menurut abdul wahab Kholaf, “Urf  adalah[5]:
العرف هو ما تعارقه الناس وساروا عليه من قول اوفعل اوترك ويسمى العادة. وفي لسان الشرعيين لا فرق بين العرف والعادة.

Al- Urf adalah suatu yang telah diketahui oleh orang banyak dan dikerjakan o eh mereka, baik itu yang berupa perkataan, perbuatan, ataupun suatu yang lazimnya untuk ditinggalkan. Hal ini dinamakan pula al-‘adah. Sehingga dalam ahli syara’ disana dijelaskan bahwa antara al- ‘Urf dan al-‘adah tidak terdapat perbedaan.

Menurut Al- Jurjaniy yang dikutib oleh Abdul Mujib, al-‘adah  adalah[6]
العا دة ما استمر النا س عليه على حكم المعقول وعادوا اليه مرة بعد اخرى
Al- Adah adalah suatu (perbuatan maupun perkataan) yang terus menerus dilakukan oleh manusia, karena dapat diterima oleh akal dan manusia mengulang- ulanginya secara terus menerus.

Memperhatikan definisi- definisi diatas, dan juga definisi yang diberikan oleh ulama’ yang lain dapat difahami bahwa aL- ‘Urf  dan a-L- ‘adah adalah semakna yang dapat juga berupa perkataan ataupun perbuatan dan secara sederhana dapat dipahami bahwa adat:
a.         Diketahui banyak orang atau masyarakat
b.        Diamalkan secara terus menerus dan berulang kali[7]
2.        Macam- macam adat ( Urf )
Penggolongan macam- macam adat atau urf  itu dapat dilihat dari berbagai segi:[8]
1.      Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan
a.         ‘Urf Qouli: yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata- kata atau ucapan. Seerti contoh kata lahm لحم artinya adalah daging, baik daging sapi, ikan, atau hewan lainya. Pengertian umum lahmun  yang juga mencakup daging ikan ini terdapat dalam Al- Qur’an surat an- Nahl 16: 14
uqèdur Ï%©!$# t¤y tóst7ø9$# (#qè=à2ù'tGÏ9 çm÷ZÏB $VJóss9 $wƒÌsÛ

Artinya: Allah memudahkan laut untukmu supaya kamu dapat memakan ikanya yang segar.(Qs. An- Nahl: 14)[9]
Namun dalam adat kebiasaan berbahasa sehari- hari dikalangan orang arab , kata lahmun itu tidak digunakan untuk “ikan”. Karena itu jika seorang bersumpah, “ demi Allah saya tidak akan memakan daging “, tapi ternyata makan daging ikan, maka menurut adat masyarakat arab, orang ini tidak  melanggar sumpah.[10]
b.                  Urf fi’li atau Amaly: yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan[11] contohnya: kebiasaan jual beli barang barang yang enteng ( murah dan kurang begitu bernilai) tarnsaksi antar penjual dan pembeli cukup hanya menunjukan barang serta serah terima barang dan uang tanpa ucapan transaksi (akad). Hal ini tidak menyalahi aturan akad dalam jual beli.[12]
2.      Dari segi ruang lingkup penggunaanya, ‘Urf  terbagi menjadi dua yaitu:
a.       Urf umum yaitu kebiasaan yang telah umum berlaku dimana mana hamper seluruh penjuru dunia, tanpa memandang Negara, bangsa, dan agama. Contohnya menganggukan kepala tanda menyetujui dan menggelengkan kepala tanda menolak atau tidk setuju.
b.      ‘Urf  khusus yaitu kebiasaan yang dilakukan sekelompok orang di tempat tertentu atau pada waktu tertentu. Tidak berlaku di semua tempat dan sembarang waktu. Contohnya seperti adat walimah yang ada di desa sidokumpul kecamatan sambeng kabupaten lamongan yang mana pelaksanaanya hanya pada musim panen saja.[13]
3.      Dari segi penilaian baik dan buruk, ‘ Adat  atau ‘Urf   itu dibagi menjadi dua yaitu:
a.        Adat Shohih yaitu adat yang berulang- ulang dilakukan, diterima oleh orang banyak, tidak bertentangan dengan agama, sopan santun dan budaya yang luhur.  Umpamanya memberi hadiah kepada orang tua dan kenalan dekat dalam waktu-  waktu tertentu, mengadakan acara halal bihalal  saat hari raya, memberi hadiah sebagai suatu penghargaan atas suatu prestasi.
b.      Adat yang fasid yaitu: adat yang berlaku disuatu tempat meskipun merata pelaksanaanya, namun bertentangan dengan agama, undang- undang Negara dan sopan santun. Umpamanya berjudi untuk merayakan suatu peristiwa, pesta dengan menghidangkan minuman atau makanan haram.[14]
4.      Dalil dan penggunaan ‘Urf  atau ‘Adat  dalam hukum Islam
Para ulama’ usul fiqih sepakat bahwa al-‘ urf  al shahih baik yang menyangkut al- ‘urf al- lafdzhi, al- urfu al- ‘amali maupun menyangkut al- ‘urf amm dan al- ‘urf al- khash dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum syara’. Menurut imam al- Qorafi yang dikutip Harun Nasroen menyatakan bahwa seorang mujtahid dalam menetapkan suatu hukum harus terlebih dahulu meneliti kebiasaan yang berlaku di masyarakatstempat, sehingga hukum yang ditetapkan tersebut tidak betentangan atau menghilangkan kemaslahatan yang menyangkut masyarakat tersebut. Dengan mengutip pendapat Imam al- Syathbi (ahli Usul Fiqih Maliki) dan ibnu Qayyum al- Jauzy ( ahli fiqih Hambali) Nasroen juga menyatakan seluruh ulama’ madzhab manerima dan menjadikan ‘urf  sebagai dalil syara’ dalam menetapkan hukum apabila tidak di jumpai dalam suatu nassh yang menjelaskan tentang hukum tersebut atau yang sedang dihadapi. Misalnya, seorang mempergunakan jasa pemendian umum dengan tariff tertentu padahal lamanya ia didalam kamar mandi dan beberapa jumlah air yang terpakai adalah tidak jelas. Sesuai dengan ketentuan hukum syari’at Islam dalam suatu akad, kedua hal ini harus jelas akan tetapi perbuatan seperti itu sudah menjadi kebiasaan masyarakat luas, sehinga ulama’ madzhab menganggap sah akad ini. Alasn mereka adalah adat perbuatan yang berlaku.
                                                          Dari berbagai kasus adat yang dijumpai, para ulama usul Fiqih merumuskan beberapa kaidah fiqih yang berkaitan dengan adat diantaranya adalah.
العادة محكمة
Adat atau kebiasaan bisa dijadikan hukum[15]
Kaidah lain yang berhubungan dengan ‘Urf:
لا ينكر تغيّر الأحكم بتغير الأزمنة والأمكنة
tidak di ingkari perubahan hukum disebabakan perubahan zaman dan tempat
المعروف عرفا كا المشروط شرطا
 yang baik itu menjadi ‘urf, sebagaimana yang disyaratkan itu menjadi syarat
الثابت باالعرف كاالثابت باالنّاصّ
yang ditetapkan melalui ‘urf sama dengan yang ditetapkan melalaui nash (nash atau hadist)

Adat bisa dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetpkan hukum syara’ apabila telah memenuhi Syarat- Syarat sebagai berikut:[16]

1.      Berlaku secara umum
2.      Tidak bertentangan dengan hukum syara’
3.      tidak bertentangan dengan yang diungkapkan secara jelas dalam suatu transaksi
4.      telah memasyarakat ketika pesoalan yang akan ditetapkan hukumnya itu muncul.




[1] Hadikusuma Hilman,2003,  Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Cet.II , lampung: Cv. Mandar maju, hal. 8
[2] Ensklopedi Islam,1999, Jilid I,Cet. 3; Jakarta: PT Ichtiar Baru Van Hoeve, hal: 21
[3] Syarifuddin Amir,2009, Usul Fiqih, Cet. V, Jakarta: Kencana perdana media group, hal. 387
[4] Hilal Al- as Kari,1412 H. Mu’jamul Furuq Al- Lughowi. Muassatun Nasr Al- Islami. hal. 345
[5] Abdul Wahab Kholaf, Ilmu Ushul al- Fiqih,,Cet. 12;tt:Al- Nash wal- Tauzik, hal: 89
[6] Abdul Mujib, 1999,  Kaidah- kaidah Ilu Fiqih, cet.3;Jakarta: kalam Mulia, hal: 44
[7] Jalaludin Abdur Rohman,1990, Cet. I, al- Asbah Wan- nadhoir, Bairut: Darul kutub. hal. 92
[8] Syarifuddin Amir,2009, Usul Fiqih, Jilid II (Cet.V; Jakarta: kencana prenada media group, 2009) hal. 389
[9] Al- Qur’an surat an- Nahl: 14
[10] Abdul Wahab kholaf,t.th. Kaidah- Kaidah Hukum Islam Ilmu Usul Fiqih, (Jakarta: Pt. Raja Grafindo persada hal.132
[11] Ibnu Sam’ani,1999, Qothi’ul Al- adillah Fil Usul, Juz I, Bairut: Darul Kutub, hal 193
[12] Hakim Abdul,2008, Mabadi’ Awaliyah, Juz IV, Jakarta: Maktabah Asa’adiyah,hal.36   
[13] Fakhruddin Ar- rozi, Al- Mahshul, t.t.,t.tth, Muassatur Ar- Risalah. hal 296-298
[14] Abdul Wahab Kholaf. Ilmu Fi Usulil Fiqhi, t.t.,t.tth, Darul Kolam, cet- 8, hal. 89
[15] Abdul Hakim, t.t,  Mabadi’ awaliyah, Jakarta, Maktabah As Saadiyah Putra, Hal. 36
[16] Nasrun Haroen, 1997, Usul Fiqih I, Jakarta: Pt Logos Wacana Ilmu, hal 143- 144

Comments

Popular posts from this blog

Masalah fiqih kontemporer

Masalah-masalah Fiqh Kontemporer dan Cara Menjawabnya oleh Para Ulama Serta Sumber Hukumnya   Pertanyaan 1 : Apakah memakai cadar itu bid’ah? Jawaban: Pada  kenyataannya,  mengidentifikasi   cadar   sebagai bid’ah  yang  datang  dari luar serta sama sekali bukan berasal  dari  agama  dan  bukan  dari  Islam,   bahkan menyimpulkan  bahwa  cadar masuk ke kalangan umat Islam pada zaman kemunduran yang parah, tidaklah  ilmiah  dan tidak  tepat sasaran. Identifikasi seperti ini hanyalah bentuk perluasan yang merusak inti persoalan dan hanya menyesatkan  usaha untuk mencari kejelasan masalah yang sebenarnya. Satu hal yang tidak akan disangkal oleh siapa pun  yang mengetahui sumber-sumber ilmu dan pendapat ulama, bahwa masalah tersebut merupakan masalah khilafiyah. Artinya, persoalan   apakah   boleh  membuka  wajah  atau  wajib menutupnya – demikian pula dengan hukum  kedua  telapak tangan  adalah masalah yang masih diperselisihkan. Masalah ini masih diperselisihkan oleh

Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) dari Perspektif Politik Hukum di Indonesia1

Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam (CLD-KHI) dari Perspektif Politik Hukum di Indonesia1 Abstrak             Memanfaatkan perspektif politik hukum, artikel ini membahas tentang CLD-KHI (Counter Legal Draft Kompilasi Hukum Islam-) diatur oleh Kelompok Kerja Pengarusutamaan Jender Departemen Agama RI tahun 2004. CLD berisi usulan revisi peraturan hukum keluarga di Indonesia yang diformat dari perspektif demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia dan gender dalam konteks masyarakat Indonesia. Konsep ini telah menyebabkan pro dan kontra di antara anggota masyarakat. Lawan umumnya berasal dari umat Islam kelompok yang menjunjung tinggi agenda pelaksanaan syariah, sementara para pendukung datang dari msulims kelompok yang mempromosikan kesetaraan dan keadilan gender, hak asasi manusia, demokrasi dan pluralisme. Mayoritas ntellectuals akademik menghargai konsep dengan kesepakatan mereka pada beberapa titik dalam konsep. Penolakan draft adalah hasil dari penggunaan perspektif aneh da

Penafsiran Hukum Pidana

PENAFSIRAN HUKUM Penafsiran hukum atau interpretasi adalah menentukan arti atau makna suatu teks atau bunyi suatu pasal berdasar pada kaitannya [1] . Hukum harus ditegakkan di tengah-tengah masyarakat, dan dalam upaya penegakkan hukum itu hakim sebagai penegak hukum akan dihadapkan pada pelbagai kaidah, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. Hukum yang dikodifikasikan umumnya bersifat statis . Ketidaksempurnaan  dan ketidaklengkapan senantiasa menjadi hukum tertulis, sekalipum kodifikasi telah diatur sedemikian rupa. Hal ini di sebabkan oleh adanya hal-hal yang tidak atau belum terjadi pada waktu kodifikasi seperti aliran listrik  yang ada sekarang. Dengan demikian aliran listrik yang dikontrol tanpa izin dikatakan sebagai pencuri,yang diatur dalam pasal 362 KUHP pidana [2] . Dalam menjalankan tugasnya, hakim harus berpedoman kepada kodifikasi agar mendapat kepastian hukum.dalam hal ini, Indonesia menggunakan aliran Rechtsvinding berarti hakim memutuskan perkara berpegang pada Un