DiSusun Oleh: Syifaur Rohman
Mahasiswa
PRODI AHWAL AS SYAKHSIYYAH
FAKULTAS SYARI’AH
INSTITUT KEISLAMAN ABDULLAH FAQIH
Suci- Manyar- Gresik
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Keluarga
adalah salah satu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup bersama
sebagai satu kesatuan atau unit masyarakat terkecil dan biasanya selalu ada
hubungan darah, ikatan perkawinan atau ikatan lainnya, tinggal bersama dalam
satu rumah yang dipimpin oleh seorang kepala keluarga dan makan dalam satu
periuk.[1]
Keluarga
memerlukan organisasi tersendiri dan perlu kepala rumah tangga sebagai tokoh
penting yang memimpin keluarga disamping beberapa anggota keluarga lainnya.
Anggota keluarga terdiri dari Ayah, ibu, dan anak merupakan sebuah satu
kesatuan yang memiliki hubungan yang sangat baik. Hubungan baik ini ditandai
dengan adanya keserasian dalam hubungan timbal balik antar semua
anggota/individu dalam keluarga. Sebuah keluarga disebut harmonis apabila
seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan tidak adanya
konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap keadaan (fisik, mental,
emosi dan sosial) seluruh anggota keluarga. Keluarga disebut disharmonis
apabila terjadi sebaliknya.
Ketegangan maupun konflik antara suami dan istri maupun orang tua dengan anak merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah tangga. Tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik dalam rumah tangga bukanlah sesuatu yang menakutkan. Hampir semua keluarga pernah mengalaminya. Yang mejadi berbeda adalah bagaimana cara mengatasi dan menyelesaikan hal tersebut.
Ketegangan maupun konflik antara suami dan istri maupun orang tua dengan anak merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah tangga. Tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik dalam rumah tangga bukanlah sesuatu yang menakutkan. Hampir semua keluarga pernah mengalaminya. Yang mejadi berbeda adalah bagaimana cara mengatasi dan menyelesaikan hal tersebut.
Setiap
keluarga memiliki cara untuk menyelesaikan masalahnya masing-masing. Apabila
masalah diselesaikan secara baik dan sehat maka setiap anggota keluarga akan
mendapatkan pelajaran yang berharga yaitu menyadari dan mengerti perasaan,
kepribadian dan pengendalian emosi tiap anggota keluarga sehingga terwujudlah
kebahagiaan dalam keluarga. Penyelesaian konflik secara sehat terjadi bila
masing-masing anggota keluarga tidak mengedepankan kepentingan pribadi, mencari
akar permasalahan dan membuat solusi yang sama-sama menguntungkan anggota
keluarga melalui komunikasi yang baik dan lancar. Disisi lain, apabila konflik
diselesaikan secara tidak sehat maka konflik akan semakin sering terjadi dalam
keluarga.
Penyelesaian
masalah dilakukan dengan marah yang berlebih-lebihan, hentakan-hentakan fisik
sebagai pelampiasan kemarahan, teriakan dan makian maupun ekspresi wajah
menyeramkan. Terkadang muncul perilaku seperti menyerang, memaksa, mengancam
atau melakukan kekerasan fisik. Perilaku seperti ini dapat dikatakan pada tindakan
kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang diartikan setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan
atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah
tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.[2]
Begitu juga dalam menjalin keluarga
yang bahagia maka dibutuhkanlah cinta dan kasih sayang antara suami dan istri, namun
terkadang diantara keduanya tidak saling memahami,dan memberikan kepusan dalam
menjalankan rumah tangga, pada akhirnya munculah rasa kurang puas
dianatar suami dan isrti, khususnya bagi si suami, yang mana menganggap bahwa
si istri sudah lagi tidak mampu untuk melayani suami sehingga muncullah
keinginan poligami, yang mana poli gami sendiri merupakan perkawinan seorang laki-laki dengan lebih dari satu
wanita, dengan berbagai alasan.
B. Rumusan Masalah
a.
Apa yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah Tangga ?
b.
Apa saja bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga ?
c.
Apakah faktor-faktor penyebab Kekerasan dalam Rumah Tangga ?
d.
Bagaimana cara penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga ?
e Bagaimanakah pelaksanaan poligami dan sejauh apa kaitannya dengan
hukum islam dan hukum
positif ? serta
C. Tujuan Pembuatan Makalah
a.
Mengetahui apa yang dimaksud dengan Kekerasan dalam Rumah tangga dan poligami
b.
Mengetahui bentuk-bentuk Kekerasan dalam Rumah Tangga.
c.
Mengetahui faktor-fartor apa saja yang menjadi penyebab Kekerasan dalam Rumah
Tangga.
d.
Mengetahui cara penanggulangan kekerasan dalam Rumah Tangga.
e.
mengetahui tinjuan hokum islam dan hokum positif mengenai poligami.
BAB II
PEMBAHASAN KDRT
A.
Kekerasan dalam Rumah Tangga
Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang
tertuang dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk
melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga. [3]
A.1 Ketentuan Umum[4]
Dalam Undang-Undang ini yang
dimaksud dengan :
a.
Kekerasan
dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama
perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau
penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,
pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah
tangga.
b.
Penghapusan
Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah jaminan yang diberikan oleh negara untuk mencegah terjadinya kekerasan dalam
rumah tangga, menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, dan melindungi
korban kekerasan dalam rumah tangga.
c.
Korban
adalah orang yang mengalami kekerasan
dan/atau ancaman kekerasan dalam lingkup rumah tangga.
d.
Perlindungan
adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban
yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian,
kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan
penetapan pengadilan.
e.
Perlindungan
Sementara adalah perlindungan
yang langsung diberikan oleh kepolisian dan/atau lembaga sosial atau
pihak lain, sebelum dikeluarkannya penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan.
B. Bentuk-bentuk Kekerasan dalam
Rumah Tangga
Menurut Undang-Undang No.
23 Tahun 2004 tindak kekerasan terhadap istri dalam rumah tangga
dibedakan kedalam 4 (empat) macam[5] :
a. Kekerasan fisik
Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit
atau luka berat. Prilaku kekerasan yang termasuk dalam golongan ini antara lain
adalah menampar, memukul, meludahi, menarik rambut (menjambak), menendang,
menyudut dengan rokok, memukul/melukai dengan senjata, dan sebagainya. Biasanya
perlakuan ini akan nampak seperti bilur-bilur, muka lebam, gigi patah atau
bekas luka lainnya.[6]
b. Kekerasan psikologis / emosional
Kekerasan psikologis atau emosional adalah perbuatan yang mengakibatkan
ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak,
rasa tidak berdaya dan / atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
Perilaku kekerasan yang termasuk penganiayaan secara emosional adalah
penghinaan, komentar-komentar yang menyakitkan atau merendahkan harga diri,
mengisolir istri dari dunia luar, mengancam atau ,menakut-nakuti sebagai sarana
memaksakan kehendak.[7]
c. Kekerasan seksual
Kekerasan jenis ini meliputi pengisolasian (menjauhkan) istri dari
kebutuhan batinnya, memaksa melakukan hubungan seksual, memaksa selera seksual
sendiri, tidak memperhatikan kepuasan pihak istri.[8]
d. Kekerasan ekonomi
Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya,
padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau
perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan atau pemeliharaan kepada orang
tersebut. Contoh dari kekerasan jenis ini adalah tidak memberi nafkah istri, bahkan
menghabiskan uang istri.[9]
C. Faktor-Faktor Penyebab Kekerasan
dalam Rumah Tangga
C.1. Berbicara keras dan menyakitkan
Perilaku ini sangat penting dan mutlak harus Anda hindari
terhadap semua anggota keluarga. Berbicara keras dan lantang akan membuat si
pendengar sakit hati lain halnya dengan berbicara yang sopan akan membuat lawan
bicara Anda menjadi simpatik. Dengan demikian akan terhindar dari
kesalahpahaman yang membuat percekcokan dalam keluarga Anda.
C.2. Tidak sabar
Faktor berikutnya adalah ketidaksabaran, karena itu adalah tolak
ukur dalam hal Anda melakukan tindakan. Dalam kehidupan berkeluarga pasti tidak
lepas dari kesalahan. Jika mendapati dalam keluarga Anda berbuat suatu
kesalahan jangan sekali-sekali memvonisnya. Berikan kesempatan kepada yang
bersangkutan berbicara untuk menyampaikan argumennya. Kemudian berikan nasihat
atau petuah dengan nada yang santun dan bijak agar tidak mengulangi kesalahan
yang sama.
C.3. Sifat ego
Sifat egoisme hanya akan mendorong hati Anda menjadi keras
kemudian muncul perilaku arogan dan semena-mena terhadap orang lain. Jauhkan
sifat tersebut dari kehidupan Anda. Karena jika sifat egoisme tersebut terus
bersarang dan mengendap dalam hati manusia lama kelamaan akan bermunculan
jenis-jenis penyakit hati antara lain sifat keras kepala sulit menerima nasihat
orang lain, iri hati, dendam, dan lain sebagainya. Jauhkan sifat-sifat seperti
itu dari kehidupan Anda.
C.4. Ekonomi
Salah satu hal terjadinya kekerasan dalam rumah tangga adalah
faktor ekonomi yang kurang mapan, dalam artian kehidupan rumah tangga tersebut
ekonominya masih labil. Sehingga dengan keadaan yang seperti itu akan timbul berbagai
perselisihan dalam rumah tangga Anda sehari-hari karena tuntutan dari pasangan
atau dari anak Anda tidak terpenuhi. Jadi sebelum Anda melaksanakan hidup
berumah tangga sebaiknya persiapkan kemampuan finansial Anda untuk bisa
memenuhi kebutuhan hidup yang layak.
C.5. Mencari kambing hitam
Ketika Anda mendapatkan masalah yang besar di dalam pekerjaan
yang membuat pikiran kacau, jangan sekali-kali melampiaskan ke dalam rumah
karena anggota keluarga tidak tahu apa-apa. Selesaikan masalah dalam pekerjaan
Anda dan jangan campur aduk ke dalam keluarga. Alangkah baiknya jika Anda
berdiskusi, mungkin pasangan Anda mempunyai jalan keluar tentang masalah Anda.
C.6. Tidak ada budaya demokrasi dalam rumah tangga
Di dalam keluarga, suami mempunyai tugas menjadi kepala keluarga
namun tidak semua hal yang dilakukan itu benar. Jika suami salah dalam
menyampaikan atau melakukan sesuatu, sebagai istri jangan ragu untuk
membenarkan. Begitu juga sebaliknya jika istri salah melakukan sesuatu,
kewajiban suami untuk mengarahkan ke jalan yang benar. Dengan ucapan yang lemah
lembut maka akan mudah diterima oleh pasangan dan tidak sampai membuat sakit
hati.
C.7. Kurang terbuka dalam keluarga
Kurang terbuka adalah salah satu hal yang dapat membuat tidak
harmonisnya kehidupan berumah tangga. Jika Anda mempunyai masalah di luar,
jangan dipikirkan sendiri, itu akan membuat beban Anda menjadi semakin besar.
Berkomunikasi tentang masalah yang diterima kepada pasangan Anda dan menemukan
solusinya bersama-sama itu akan meringankan beban masalah Anda.
C.8. Pergi keluar rumah tanpa alasan
Dalam kasus ini banyak contoh dilakukan oleh anak-anak yang
beranjak dewasa dan masih labil. Sebagai orang tua, Anda harus lebih ketat
dalam menjaga dan mengawasi putra-putri Anda saat akan keluar rumah. Dengan
memberikan arahan-arahan tentang hal negatif dan positif di luar rumah, maka
putra-putri Anda akan berpikir dan menjauhi hal-hal negatif yang Anda larang.
C.9. Berprasangka buruk
Berprasangka buruk terhadap pasangan akan membuat rasa tidak
nyaman dalam rumah tangga. Sifat ini akan menjadikan rasa tidak percaya
terhadap semua hal yang dilakukan pasangan. Dengan berpikiran yang baik
terhadap pasangan akan menumbuhkan rasa saling percaya dalam kehidupan berumah
tangga dan ini akan menambah keharmonisan dalam keluarga.[10]
D.
Cara Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga
Ada ungkapan, mencegah lebih baik daripada mengobati. Maka dalam
masalah KDRT, sangat penting dilakukan pencegahan sebelum terjadi KDRT.
Adapun kiat mencegah
terjadinya KDRT antara lain:[11]
1)
Keluarga wajib mengamalkan ajaran agama. Bapak harus menjadi imam bagi
isteri, anak-anak serta keluarga, dan Ibu imam bagi anak-anak dan
dalam mengatur urusan rumah tangga.
2) Harus dikembangkan komunikasi timbal balik antara suami,
isteri dan anak-anak.
3) Isteri wajib mendidik anak sejak kecil, kalau marah
jangan memukul dan berkata kasar.
4) Kalau ada masalah harus diselesaikan dengan dialog.
5) Jika terjadi pertengkaran serius, salah satu atau
kedua-duanya harus meminta kepada orang yang dituakan untuk memediasi.
Dalam
hal pencegahan KDRT secara dini, Ibu sebagai isteri dan ibu dari anak-anak,
secara dini bisa berperan dalam mencegah KDRT melalui pencerahan dan penyadaran
kepada putra-putrinya.Selain itu, organisasi massa seperti PKK dapat berperan
dalam sosialisasi pentingnya dibangun rumah tangga yg baik, mawaddah (penuh
cinta kasih) wa rahmah (penuh kasih sayang).
BAB III
POLIGAMI
Poligami adalah
sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau
mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yg bersamaan.[12] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(UU Perkawinan) yang menyatakan bahwa asas perkawinan adalah monogami, dan
poligami diperbolehkan dengan alasan, syarat, dan prosedur tertentu tidak
bertentangan dengan ajaran Islam dan hak untuk membentuk keluarga.[13] Poligami dalam syari’at islam
yang merupakan sunah Rasulullah SAW tentunya dengan syarat sang suami memiliki
kemampuan untuk adil diantara para isteri.Sebagai mana pada ayat yang artiya :
“Dan
jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap(hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya),maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu
senang, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku
adil,maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yangkamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat daripada tidak berbuat aniaya.” (QS.An-Nisa
ayat ke-3)
“Dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalau
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung.” (QS.An-Nisa ayat 129)
A. Landasan Hukum
Yaitu
terletak dalam surat An-Nisa` ayat 3
وَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تُقْسِطُوا
فِي الْيَتَامَىٰ فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَىٰ وَثُلَاثَ
وَرُبَاعَ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَا مَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَلَّا تَعُولُوا
Artinya:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, Maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih
dekat kepada tidak berbuat aniaya.[14]
Maksudnya berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam
meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat
lahiriyah. Dan Islam memperbolehkan poligami dengan syarat-syarat tertentu.
sebelum turun ayat Ini poligami sudah ada, dan pernah pula dijalankan oleh para
nabi sebelum nabi Muhammad SAW. Ayat Ini membatasi poligami sampai empat orang
saja.[15]
Dan
demikian juga disebutkan dalam surat An-Nisa` ayat 129, Allah SWT berfirman:
وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا
بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ
فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۚ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ
كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا
Artinya: Dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain
terkatung-katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Sejak
masa Rasulullah SAW , Sahabat, Tabi`in, periode Ijtihad dan setelahnya sebagian
besar kaum Muslimin memahami dua ayat Akhkam itu sebagai
berikut:
1. Perintah Allah SWT, “maka
kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi”, difahami sebagai
perintah ibahah (boleh), bukan perintah wajib. Seorang muslim dapat memilih
untuk bermonogami (istri satu) atau berpoligami (lebih dari satu). Demikianlah
kesepakatan pendapat mayoritas pendapat mujtahid dalam berbagai kurun waktu
yang berbeda.
2. Larangan mempersunting istri
lebih dari empat dalam waktu yang bersamaan, sebagaimana dalam firman
Allah “maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi; dua, tiga
atau empat”. Menurut alqurtuki, pendapat yang memperkenankan poligami lebih
dari empat dengan pijakan nash di atas, adalah pendapat yang muncul karena yang
bersangkutan tidak memahami gaya bahasa dalam al-qur`an dan retorika bahasa
arab.
3. Poligami harus
berlandaskan asas keadilan, sebagaimana firman Allah, “kemudian
jika kamu takut tidak akan berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau
budak-budak yang kamu miliki.“ (qs. An-nisa`: 3) seseorang tidak
dibolehkan menikahi lebih dari seorang istri jika mereka merasa tidak yakin
akan mampu untuk berpoligami. Walaupun dia menikah maka akad tetap sah, tetapi
dia berdosa terhadap tindakannya itu.
4. Juga sebagaimana
termaktub dalam ayat yang berbunyi, “dan kamu sekali-kali tidak akan dapat
berlaku adil diantara istri-istri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat
demikian”. adil dalam cinta diantara istri-istri adalah suatu hal yang
mustahil dilakukan karena dia berada di luar batas kemampuan manusia. Namun,
suami seyogyanya tidak berlaku dzolim terhadap istri-istri yang lain karena
kecintaannya terhadap istrinya.
5. Sebagian ulama` penganut
madzhab syafi`I mensyaratkan mampu member nafkah bagi orang ayaang akan
berpoligami. Persyaratan ini berdasarkan pemahaman imam syafi`I terhadap teks
al`qur`an, “yang demikian itu adalah lebih cddekat kepada tidak berbuat
aniaya”. Yang artinya agar tidak memperbanyak anggota keluarga. Di dalam
kitab “akhkam al-qur`an”, imam baihaqi juga mendasarkan
keputusannya terhadap pendapat ini serta pendapat yang lain. Dalam pemahaman
madzhab syafi`I jaminan yang mensyaratkan kemampuan memmberi nafkah sebagai
syarat poligami ini adalah syarat diyanah (agama) maksudnya bahwa jika yang
bersangkutan tahu bahwa dia tidak mampu member nafkah bukan syarat putusan
hukum[16]
Dan
adalagi yang menyebutkan bahwa poligami itu mubah (dibolehkan) selama seorang
mu`min tidak akan khawatir akan aniaya. Dilarang poligami untuk menyelamatkan
dirinya dari dosa. Dan terang pula bahwa boleh berpoligami itu tidak bergantung
kepada sesuatu selain anaiaya (tidak jujur), jadi tidak bersangkutan dengan
mandul istri atau sakit yang menghalanginya ketika tidur dengan suaminya dan
tidak pula karena banyak jumlah wanita. [17]
B. Alasan Poligami
Pada dasarnya seorang pria hanya boleh mempunyai seorang
istri. Seorang suami yang beristri lebih dari seorang dapat diperbolehkan bila
dikendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan Pengadilan Agama telah memberi
izin (Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974). Dasar pemberian izin
poligami oleh Pengadilan Agama diatur dalam Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang
Perkawinan (UUP) dan juga dalam Bab IX KHI Pasal 57seperti dijelaskan sebagai berikut:
a.Isteri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai isteri;
b.Isteri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.Isteri tidak dapat melahirkan
keturunan.
Apabila
diperhatikan alasan pemberian izin melakukan poligami di atas, dapat dipahami
bahwa alasannya mengacu kepada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan, yaitu
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal (istilah KHI disebut sakinah,
mawaddah,dan rahmah ) berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Apabila tiga alasan yang disebutkan di atas menimpa suami-istri maka dapat
dianggap rumah tangga tersebut tidak akan mampu menciptakan keluarga bahagia (mawaddah dan
rahmah).
C. Syarat-syarat Poligami
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 memberikan
persyaratan terhadap seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang
sebagai berikut:
(1) Untuk
dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini harus dipenuhi syarat-syarat sebagai
berikut:
a. Adanya persetujuan
dari istri/ isteri-isteri;
b. Adanya kepastian bahwa suami
mampu menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
c. Adanya jaminan bahwa suami
akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
(2)
Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi
seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mungkin dimintai
persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila
tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, karena
sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim Pengadilan Agama.[18]
D. Prosedur Poligami
Prosedur poligami menurut Pasal 40 Peraturan Pemerintah
Nomor 9 Tahun 1974 menyebutkan bahwa apabila seorang suami bermaksud untuk
beristri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara
tertulis kepada pengadilan. Hal ini diatur lebih lanjut dalam Pasal 56, 57, dan
58 Kompilasi Hukum Islam sebagai berikut:
Pasal 56 KHI
1) Suami yang hendak beristeri
lebih dari satu orang harus mendapat izin dari Pengadilan Agama.
2) Pengajuan permohonan izin dimaksud pada ayat (1)
dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975.
3) Perkawinan yang dilakukan
dengan isteri kedua, ketiga atau ke empat tanpa izin dari Pengadilan Agama,
tidak mempunyai kekuatan hukum.[19]
Pasal 57 KHI
Pengadilan Agama hanya memberikan izin kepada suami yang
akan beristri lebih dari seorang apabila:
a.Isteri tidak dapat menjalankan
kewajibannya sebagai isteri;
b.Isteri mendapat cacat badan atau
penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
c.Isteri tidak dapat melahirkan
keturunan.
Kalau
Pengadilan Agama sudah menerima permohonan izin poligami, kemudian ia memriksa
berdasarkan Pasal 57 KHI :
a. Ada
atau tidaknya alasan yang memugkinkan seorang suami kawin lagi;
b. Ada
atau tidaknya persetujuan dari istri, baik persetujuan lisan maupun tulisan,
apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus
diucapkan di depan sidang pengadilan;
c. Ada
atau tidaknya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hiduo istri-istri dan
anak-anak, dengan memperlihatkan:
i. Surat
keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat
bekerja, atau
ii. Surat keterangan pajak
penghasilan, atau
iii. Surat keterangan lain yang dapat
diterima oleh pengadilan.
Pasal 58 ayat
(2) KHI
Dengan
tidak mengurangi ketentuan Pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara tertulis atau
dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini
dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama.
Adapun
tata cara teknis pemeriksaan menurut Pasal 42 PP Nomor 9 Tahun 1975 adlah
sebagai berikut:
(1) Dalam
melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada Pasal 40 dan 41, Pengadilan harus
memanggil dan mendengar istri yang bersangkutan.
(2) Pemeriksaan
pengadilan untuk itu dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 (tiga puluh)
hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya.
Apabila terjadi sesuatu dan lain hal, istri atau
istri-istri tidak mungkin diminta persetujuannya atau tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 5 ayat (2) menegaskan:
Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini
tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/istri-istrinya tidak mengkin
dimintai persetujuannya, dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau
apabila tidak ada kabar dari istri-istrinya selama sekurang-sekurangnya 2 (dua)
tahun atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim
Pengadilan (bandingkan
juga dengan Pasal 58 KHI). Namun, bila Pengadilan berpendapat bahwa cukup
alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan
memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristri lebih dari seorang (Pasal
43 PP Nomor 9 Tahun 1975).
Kalau sang istri tidak mau memberikan persetujuan, dan
permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan salah satu
alasan yang diatur dalam Pasal 55 ayat (2) dan Pasal 57, Pengadilan
Agama dapat menetapkan pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri
yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini
istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi (Pasal 59 KHI). Apabila
keputusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap, izin pengadilan tidak
diperoleh, maka menurut ketentuan Pasal 44 PP Nomor 9 Tahun 1975, Pegawai
Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan
beristri lebih dari seorang sebelum adanya izin pengadilan seperti yang
dimaksud dalam Pasal 43 PP Nomor 9 Tahun 1975.
Ketentuan hukum yang mengatur tentang pelaksanaan
poligami seperti telah diuraikan di atas mengikat semua pihak, pihak
yang akan melangsungkan poligami dan pegawai percatat perkawinan. Apabila
mereka melakukan pelanggaran terhadap ketentuan pasal-pasal di atas, dikenakan
sanksi pidana. Persoalan ini diatur dalam Bab IX Pasal 45 PP Nomor 9 Tahun 1975
:
(1) Kecuali
apabila ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka:
a. Barang
siapa yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 3, Pasal 10 ayat (3), 40
Peraturan Pemerintah akan dihukum dengan hukuman denda setinggi-tingginya
Rp.7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah);
b. Pegawai
Pencatat yang melanggar ketentuan yang diatur dalam Pasal 6, 7, 8, 9, 10 ayat
(1), 11, 12, dan 44 Peraturan Pemerintah ini dihukum dengan
hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan atau denda
setinggi-tingginya Rp.7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah).
(2) Tindak
pidana yang dimaksud dalam ayat (1) di atas, merupakan pelanggaran.
Ketentuan hukum poligami yang boleh dilakukan atas
kehendak yang bersangkutan melalui izin Pengadilan Agama, setelah dibuktikan
kemaslahatannya. Dengan kemaslahatan dimaksud, terwujudnya cita-cita dan tujuan
perkawinan itu sendiri, yaitu rumah tangga yang kekal dan abadi atas dasar
cinta dan kasih sayang yang diridhai oleh Allah SWT. Oleh karena itu, segala
persoalan yang dimungkinkan akan menjadi penghalang bagi terwujudnya tujuan
perkawinan tersebut, sehingga mesti dihilangkan atau setidaknya dikurangi
Status hukum poligami adalah mubah. Mubah dimaksud,
sebagai alternatisf untuk beristri hanya sebatas 4 (empat) orang istri. Hal itu
ditegaskan oleh Pasal 55 KHI sebagai berikut:
(1) Beristeri
lebih dari satu orang dalam waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat orang
isteri.
(2) Syarat utama beristeri lebih dari
satu orang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan
anak-anaknya.
(3) Apabila syarat utama yang disebut
pada ayat 2) tidak mungkin terpenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari satu.
Dasar
pertimbangan KHI adalah hadits Nabi Muhammad SAW. yang diriwayatkan oleh Ahmad,
At-Tirmidzi, dan Ibn Hibban yang mengugkapkan bahwa sesungguhnya Gailan Ibn
Salamah masuk Islam dan ia mempunyai 10 (sepuluh) orang istri. Mereka
bersama-sama, dan dia masuk Islam. Maka Nabi Muhammad SAW. memerintahkan
kepadanya agar memilih empat orang saja di antaranya dan menceraikan yang
lainnya.
BAB IV
KESIMPULAN
Keluarga wajib mengamalkan
ajaran agama. Bapak harus menjadi imam bagi isteri, anak-anak serta
keluarga, dan Ibu imam bagi anak-anak dan dalam mengatur urusan
rumah tangga, Harus dikembangkan komunikasi timbal balik antara suami, isteri
dan anak-anak, begitu juga bila terjadi masalah diantara keluarga segera
diselesaikan dengan baik.
Poligami adalah sistem perkawinan yang salah satu pihak memiliki atau
mengawini beberapa lawan jenisnya dalam waktu yg bersamaan.[20] Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa
ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
(UU Perkawinan) yang menyatakan bahwa asas perkawinan adalah monogami, dan
poligami diperbolehkan dengan alasan, syarat, dan prosedur tertentu tidak
bertentangan dengan ajaran Islam dan hak untuk membentuk keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-undang
tentang Penghapusan KDRT No. 23 tahun 2004
Kompilasi
Hukum Islam Online
Taufik,
Muhammad. 2013. Hukum perlindungan anak dan penghapusan kekerasan dalam
rumah tangga. Jakarta: Rineka cipta
Kamus
Bahasa Indonesia Online
Abdul
Razak Al-Qoshir. 2004 Wanita
Muslimah Antara Syari`At Islam Dan Budaya Barat. Yogyakarta: Darussalam Offset
wikipedia. Poligami
(https://Wiki8pedia. org/wiki/id) dicetak pada tanggal29/04/2016
tafsirq /4-an-nisa/ayat-3[1]
(http:// tafsirq.com) dicetak pada tanggal29/04/2016
keluarga. faktor-faktor-kekerasan-dalam-rumah-tangga-kdrt
(http://keluarga1558.com) dicetak
pada tanggal29/04/2016
musniumar. 2012/07/09. pencegahan-dan-penanganan-kekerasan-dalam-rumah-tangga-kdrt/[1] (https://
wordpress.com) dicetak pada tanggal29/04/2016
kajianpustaka. 2012/11. definisi-fungsi-dan-bentuk-keluarga.(html
http://www.kajianpustaka.com) dicetak pada tanggal29/04/2016
[1] http://www.kajianpustaka.com/2012/11/definisi-fungsi-dan-bentuk-keluarga.html
[2] Taufik Muhammad "Hukum perlindungan
anak dan penghapusan kekerasan dalam rumah tangga”, 2013, PT Rinekaka cipta, hal 176
[3]
Undang- undang Nomer 23 Tahun 2004
[4]
Penjelasan pasal 1 ayat(1-5) Mengenai ketentuan umum
[5] Penjelasan
pasal 5 “ Setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap
orang dalam lingkup rumah tangganya.
[6]
Penjelasan pasal 6 menegenai kekerasan fisik
[7]
Penejelasan pasal 7 mengenai kekerasan psikologis
[8] Penjelasan
pasal 8 menegnai kekerasan seksual
[9]
Penjelasan pasal pasal 8 mengenai kekerasan ekonomi huruf (a-b)
[10] http://keluarga.com/1558/keluarga/faktor-faktor-kekerasan-dalam-rumah-tangga-kdrt
[11] https://musniumar.wordpress.com/2012/07/09/pencegahan-dan-penanganan-kekerasan-dalam-rumah-tangga-kdrt/
[12]
Kamus Bahasa Indonesia online
[13] https://id.wikipedia.org/wiki/Poligami
[14] http://tafsirq.com/4-an-nisa/ayat-3
[16] ada Abdul Razak Al-Qoshir, Wanita Muslimah Antara Syari`At
Islam Dan Budaya Barat, (Yogyakarta: Darussalam Offset, 2004) hal. 42-45
[18]
Undang- undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan
[19] Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan
http://fisip.unair.ac.id/berita/read/1927/studi-keluarga-perlawanan-perempuan-korban-kdrt-dalam-keluarga-ganda-karir
ReplyDeleteinilah penyebab terjadi KDRT