PENAFSIRAN HUKUM
Penafsiran hukum atau interpretasi adalah
menentukan arti atau makna suatu teks atau bunyi suatu pasal berdasar pada
kaitannya[1]. Hukum harus ditegakkan di tengah-tengah
masyarakat, dan dalam upaya penegakkan hukum itu hakim sebagai penegak hukum
akan dihadapkan pada pelbagai kaidah, baik yang tertulis maupun tidak tertulis.
Hukum yang dikodifikasikan umumnya
bersifat statis. Ketidaksempurnaan dan
ketidaklengkapan senantiasa menjadi hukum tertulis, sekalipum kodifikasi telah
diatur sedemikian rupa. Hal ini di sebabkan oleh adanya hal-hal yang tidak atau
belum terjadi pada waktu kodifikasi seperti aliran listrik yang ada
sekarang. Dengan demikian aliran listrik yang dikontrol tanpa izin dikatakan
sebagai pencuri,yang diatur dalam pasal 362 KUHP pidana[2]. Dalam menjalankan tugasnya, hakim harus
berpedoman kepada kodifikasi agar mendapat kepastian hukum.dalam hal ini, Indonesia
menggunakan aliran Rechtsvinding berarti hakim memutuskan perkara berpegang
pada Undang-Undang dan hukum lainnya yang berlaku di dalam masyarakat secara
gebonden vrijheid (kebebasan yang terikat) dan vrije gebondenheid (ketertarikan
yang bebas). Tindakan hakim tersebut dilindungi pasal 20 AB (yang
menyatakan bahwa hakim harus mengadili berdasarkan undang-undang). Dan pasal 22
AB (mengatakan hakim tidak boleh menolak mengadili perkara yang diajukan
kepadanya dengan alasan undang-undangnya tidak lengkap). Jika hakim menolak
mengadili perkara tersebut dapat dituntut. Apabila
undang-undangnya tidak ada (kekosongan hukum) hakim dapat menciptkan hukum
dengan cara konstruksi hukum (analogi), penghalisan hukum (rechtsverfijning dan
argumentum a contracio. Penafsiran atau interpretasi hukum ialah mencari
dan menetapkan pengertian atas dalil-lalil yang tercantum dalam Undang-Undang
sesuai dengan cara yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat
Undang-Undang[3]
Isi Undang-Undang kadang-kadang tidak jelas
susunan katanya, juga tidak jarang mempunyai lebih dari satu arti. Oleh
karena itu, penafsiran atau interpretatie terhadap Undang-Undang
itu perlu[4]. Ada beberapa metode penafsiran hukum
yang lazim diterapkan yaitu :
1. Penafsiran
Gramatikal, yaitu penafsiran berdasarkan tata bahasa, yang karena
itu hanya mengingat bunyi kata-kata dalam kalimat itu sendiri (penjelasan
Undang-Undang[5] menurut susunan kata-katanya)[6]. Dengan menggunakan interpretasi
gramatikal, maka pengadilan dapat menyimpulkan bahwa;
a.Naskah Undang-Undang tersebut jelas
mengatur perkaranya; atau
b.Ada dua naskah atau lebih solusi/pendektan
yang dapat dipilih; atau
c.Naskah Undang-Undang trsebut, yang tersusun
dalam kalimat, tidak mudah terpengaruh oleh soslusi.[7] Contoh suatu peraturan melarang
orang memparkirkan kendaraannya di suatu tempat.[8]
2. Penafsiran
Historis atau Sejarah, adalah meneliti sejarah dari
Undang-Undang yang bersangkutan, dengan demikian hakim mengetahui maksud
pembuatannya[9]. Penafsiran historis dibedakan menjadi
dua yaitu :
a. Sejarah hukum, konteks, perkembangan yang
telah lalu dari hukm tertentu seperti KUHP, BW, hukum romawi dan sebagainya[10].
b. Sejarah Undang-Undang, yaitu penelitian
terhadap pembentukan Undang-Undang tersebut, seperti ketentuan denda dalam KUHP
pidana, sekarang dikalikan lima belas mendekati harga-harga pada waktu KUHP
Pidana itu dibentuk[11].
Contoh : seseorang yang melanggar okum
didenda sebesar Rp. 500,-, maka denda sebesar itu jika diterapkan pada zaman
sekarang jelas tidak sesuai, oleh karena itu harus ditafsirkan sesuai dengan
keadaan harga yang sekarang ini[12].
3. Penafsiran
Sistematis, yaitu dengan cara mempelajari sitem dan rumusan Undang-Undang
; yang meliputi:
1. Penalaran analogi dan penalaran a
kontario. Penggunaan a kontario yaitu memastikan
sesuatu yang tidak disebut oleh pasal undang-undang secara kebalikan. Sedangkan
analogi berarti pengluasan berlakunya kaidah Undang-Undang.
2. Penafsiran ekstensif dan restriktif (bentuk-bentuk
yang lemah terdahulusecara logis tak ada perbedaan).
3.Penghalusan atau pengkhususan berlakaunya
undang-undang.
Contoh: asas okumy dalam pasal 27 KUHPerdata[13] menjadi dasar pada pasal 34[14], 60[15], 86[16], dan KUHPerdata[17].
4. Penafsiran
Teleologis/Sosiologis, yaitu penafsiran berdasarkan maksud
atau tujuan dibuatnya Undang-Undang itu dan ini meningkatkan kebutuhan manusia
yang selalu berubah menurut masa, sedangkan bunyi Undang-Undang tetap dan tidak
berubah. Contoh walaupun Undang-Undang tidak sesuai lagi dengan kebutuhan akan
tetapi jika Undang-Undang itu masih berlaku, maka tetap diterapkan terhadap
kejadian atau peristiwa masa sekarang.[18]
5. Penafsiran
Authentic (Sahih dan Resmi), yaitu membersihkan penafsiran yang
pasti sebagaimana yang telah ditentukan oleh Undang-Undang itu sendiri.[19] Misal pasal 98 KUHP, dinyatakan
malam, hal ini yang dimaksud adalah waktu antara matahari terbenam dan matahari
terbit, dan pasal 100 KUHP, dinyatakan binatang ternak, yang dimaksudkan di
sini adalah binatang yang berkuku satu, mamah biak, dan babi.[20]
6. Penafsiran
Ektensis (Luas), Yaitu menafsirkan berdasarkan luasnya arti kata
dalam peraturan itu, sehingga suatu peristiwa dapat dimasukkannya, seperti :
aliran listrik dapat dimasukkan kedalam kata benda, karena itu ada yang
berwujud dan yang tidak berwujud. Contoh aliran listrik termasuk benda.[21]
7. Penafsiran
Analogi, sesungguhnya hal ini sudah tidak termasuk interpretasi,
karena analogi sama dengan qiyas, yaitu okum ibarat dengan
kata-kata tersebut sesuai dengan asas hukumnya, sehingga sesuai peristiwa
yang sebenarnya tidak dapat dimasukkan, kemudian di anggap sesuai dengan bunyi
aturan tersebut, misalnya, menyambung atau menyantol aliran listrik dianggap
sama dengan mengambil aliran listrik. Misalnya: Hakim cari Undang-Undang
untuk yang tepat untuk mengadili perkara kalau Undang-Undang tidak ada, maka ia
lari ke:
a. Yurisprudensi;
b. Dalil
okum adat;
c. Melakukan
Undang-Undang secara analogi (kontruksi okum).
Hakim kalau dalam melakukan Undang-Undang
secara analogi ini harus berhati-hati dalam penggunaannya, maka ada hal-hal
yang harus diperhatikan berikut ini:
a. Apabila
ada perkara yang dihadapi dan perkara yang diatur oleh Undang-Undang cukup
persamaannya, sehingga penerapan asas yang sama dapat dipertanggung jawabkan
serta tidak bertentangan dengan asas keadilan[22].
b. Apabila
keadilan yang tertarik dari analogi okum itu serasi dan cocok dengan sitem
serta maksud perundang-undangan yang ada[23].
Tujuan melakukan secara analogi adalah untuk
mengisi kekosongan dalam Undang-Undang.
8. Penafsiran
Restriktif, yaitu penafsiran dengan membatasi
(mempersempit) arti kata dalam peraturan itu, misalnya, kerugian tidak termasuk
kerugian yang terwujud seperti sakit, cacat, dan sebagainya.[24]
9. Penafsiran
Nasional, yaitu cara penafsiran dengan menilik sesuai
tidaknya dengan okum okum yang berlaku. Contoh pasal 570 KUHPerdata[25] sekarang harus ditasirkan menurut
hak milik yang sesuai dengan okum Indonesia yaitu pasal 20 ayat1[26] Undang-Undang Pokok Agraria[27].
10. Penafsiran
a Contrario (Menurut Pengingkaran), yaitu suatu cara menafsirkan
Undang-Undang yang didasarkan pada perlawanan pengertuian antara soal yang
dihadapi dan soal yang diatur dalam suatu Undang-Undang. Berdasarkan perlawanan
(pengingkaran) itu ditarik kesimpulan bahwa soal yang dihadapi tiu tidak
diliputi oleh pasal yang termaksud/ berada di luar pasal itu. Misalnhya pasal
15676 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata: “Penjualan benda yang
disewakan tidak menyebabkan putusannya sewa menyewa”. Bagaimana kalau
peristiwa penghibahan? Di dalam pasal 1576 KUH Perdata itu tertulis “penjualan” bukan “penghibahan.” Contoh
lain pasal 34 KUH Perdata berbunyi bahwa; “seorang perempuan tidak
diperkenankan menikah lagi sebekum lewat 300 hari setelah perkawinannya
terdahulu diputuskan.”
Bagaimana halnya bagi seorang laki-laki?
Waktu tunggu 300 hari? Jawabannya tidak, karena pasal 34 KUH Perdata itu tidak
menyebutkan bagi laki-laki, tetapi harus ditujukan kepada seorang perempuan.
Maksud waktu menunggu dalam pasal 34 KUH
Perdata bagi seorang perempuan itu adalah untuk mencegah adanya keraguan
mengenai kedudukan sang anak, ditetapkan waktu 300 hari karena waktu itu
dianggap sebagai waktu kandungan yang paling lama.
Hal-hal tersebut di atas dapatlah disimpulkan
bahwa dasar berfikir a contrario itu merupakan lawan dari
menafsirkan Undang-Undang secara analogis. Karena dasar berfikir a
contrario itu sama sekali bukan dalil, bahwa pasal untuk suatu
peristiwa tertentu juga dapat diadakan peraturan tersendiri itu, sudah bukti
yang jelas bahwa peng Undang-Undang tidak menghendaki peristiwa yang serupa itu
termasuk diatur juga[28]
11. Penafsiran
Perbandingan yaitu penafsiran komparatif dengan cara membandingkan
penjelasan-penjelasan agar ditemukan kejelasan suatu ketentuan undang-undang[29].
Refrensi:
[1]Soedjono Dirdjosisworo, Pengantar Ilmu
Hukum. Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2008, hlm, 157
Pasal 362 KUHP Pidana tentyang
pencurian, berbunyi “Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang
seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki
secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah.”
[5] PULSIT IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Pendidikan KewargaanDemokrasi,Ham &
Masyarakat Madani. Jakarta, IAIN Press, agustus
2000, hlm, 88. Setelah UUD’45 menjadi aturan main dan kerangka kerja pemerintah
Republik Indonesia, sejak itulah berlaku konstitusi yang mengikat seluruh
wilayah dan bangsa Indonesia. Dengan demikian Undang-Undang 1945 adalah
konstitusi Republik Indonesia yang pertama yang terdiri atas:
a. Pembukaan yang
meliputi empat alinea(berasal dari naskah rancangan pembukaan
Undang-UndangDasar yang disusun panitia kecil pada 22 juni1945);
b. Batang tubuh atau
isi yang meliputi 16 bab, 37 pasal, 4 pasal aturan peralihan dan 2 aturan
tambahan(yang berasal dari rancangan Undang-Undang Dasar tanggal 16 juli 1945
dan disusun oleh BPUPKI);
[7] Peter De Cruz, Perbandingan Sistem Hukum (Common Law, Civil Law, dan Socialist Law), Bandung, Nusa Media, April 2010, hlm, 381.
[8] Hasanuddin AF [et al.], Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT.
pustaka Al Husna Baru, Desember 2004, hlm, 166
[12] Hasanuddin AF [et al.], Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT.
pustaka Al Husna Baru,desember 2004, hlm,166
[13] Subekti, R. &
Tjitrosudibio, R., Kitab undang-undang hukum perdata, Jakarta, PT. Pradnya Paramita, 2008, hlm, 8.
Pasal 27 KUHPerdata berbunyi “ Dalam waktu yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai
satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan
hanya satu orang laki sebagai suaminya.”
[14] Ibid, hlm, 9.
Pasal 34 KUHPerdata berbunyi “ seorang peremouan tak diperbolehkan kawin lagi, melainkan setelah
lewat waktu tiga ratus hari semenjak perkawinan terakhir dibubarkan.”
[15] Ibid, hlm, 15.
Pasal 60 KUHPerdata berbunyi “ Barangsiapa karena perkawinan perkawinan masihlah ter-ikat dirinya
dengan salah satu dari kedua belah pihak, seperti pun sekalian anak dilahirkan
dari perkawinan itu, semua itu adalah berhak memcegah perkawinan baru yang akan
dilangsungkan, akan tetapi hanyalah berdasar atas telah adanya perkawinan yang
lama.”
[16] Ibid, hlm, 2.
Pasal 86 KUHPerdata berbunyi “Kebatalan perkawinan yang dilangsungkan bertentangan dengan pasal 27,
dapat dituntut oleh orang yang karena perkawinan lebih dahulu terikat dengan
salah satu dari suami-istri, oleh si suami-istri itu sendiri, oleh para
keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas, oleh segala mereka yang
berkepentingan atas kebatalan perkawinan itu dan oleh Jawatan Kejaksaan.
Apabila kebatalan perkawinan yang lebih
dahulu itu diperlawankan, maka terlebih dahulu harus diputuskan, soal absah
atau tak absahnya perkawinan itu.”
[17] Hasanuddin AF [et al.], Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT.
pustaka Al Husna Baru, Desember 2004, hlm, 166
[20] Hasanuddin AF [et al.], Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT.
pustaka Al Husna Baru, Desember 2004, hlm, 166
[24] Hasanuddin AF [et al.], Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT.
pustaka Al Husna Baru, Desember 2004, hlm, 167
[25] R. Subekti & R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2008, hlm, 170. Pasal 570 KUHPerdata
berbunyi “ Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan suatu kebendaan dengan
leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan itu dengan kedaulatan
sepemuhnya, asal tidak bersalaahan dengan Undang-Undang atau perturan umum yang
ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak
mengganggu hak-hak orang lain kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan
akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan
Undang-Undang dan dengan pembayaran ganti rugi.”
[26] Supriadi, Hukum Agraria, Jakarta: Sinar Grafika, 2007, hlm, 348. Pasal 20 ayat 2 Hukum Agraria
tentang hak milik berbunyi “Hak milik dapat beralih dan dialihkan kepda pihak lain.”
[27] Hasanuddin AF [et al.], Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta: PT.
Pustaka Al Husna Baru, Desember 2004, hlm, 166
I really appreciate your support on this.
ReplyDeleteLook forward to hearing from you soon.
I’m happy to answer your questions, if you have any.
แจกเครดิตฟรี ฝากถอนง่าย
คาสิโน
เล่นบาคาร่า